PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
WAWASAN
NUSANTARA
1. KATA
PENGANTAR
Pertama-tama
kami panjatkan puja & Puji syukur atas rahmat & ridho Allah SWT, karena
tanpa Rhmat & RidhoNya, tidak dapat menyelesaikan atikel ini dengan baik
dan selesai tepat waktu,tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Leo Susanto
selaku dosen softskill pendidikan kewarganegaraan yang telah membimbing dalam
mengerjakan artikel ini
Artikel ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Makalah ini membahas tentang wawasan nusantara macam-macam wawasan
nusantara,tujuan dan fungsi wawasan nusantara,mengangkat kasus tentang wawasan
nusantara dan menganalisa nya. Saya sampaikan terima kasih atas perhatiannya
terhadap artikel ini, dan penulis berharap semoga artikel ini bermanfaat bagi
diri saya sendiri dan khususnya pembaca pada umumnya.
segala
kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat saya harapkan
dari para pembaca guna peningkatan pembuatan artikel pada tugas yang lain dan pada waktu
mendatang.
2. PENGERTIAN WAWASAN NUSANTARA
Pengertian,
Fungsi, Tujuan Wawasan Nusantara .Wawasan nusantara adalah ketentuan-ketentuan
dasar yang harus dipatuhi, ditaati, dipelihara oleh setiap komponen pembentukan
bangsa atau golongan. Wawasan nusantara meliputi kepentingan yang sama, tujuan
yang sama, keadilan, solidaritas, kerja sama, dan kesetiakawanan terhadap ikrar
bersama. Pengertian umum, Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa
Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan ideologi nasionalnya yang
dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia
yang merdeka, berdaulat, dan bermanfaat serta menjiwai tata hidup dan tindak
kebijakannya dalam mencapai tujuan nasional.
Fungsi Wawasan Nusantara adalah sebagai motivasi,
dorongan, pedoman, serta rambu-rambu dalam menentukan segala tindakan,
keputusan, kebijaksanaan, dan perbuatan bagi penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah
maupun bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Wilayah Nusantara merupakan gugusan
dan pulau-pulau besar dan kecil yang membentang di antara garis khatulistiwa
merupakan satu negara kepulauan terbesar di dunia. Potensi yang meliputi lebih
dari 200 suku bangsa, juga salah satu negara terkaya
sumber alam dan budayanya. Dengan memperhatikan pengertian Wawasan Nusantara
tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Wawasan Nusantara mengandung
empat makna, yaitu sebagai berikut.
- Wawasan Nusantara meliputi perwujudan kepulauan
nusantara sebagai satu kesatuan politik.
- Wawasan Nusantara meliputi perwujudan kepulauan
nusantara sebagai satu kesatuan ekonomi.
- Wawasan Nusantara meliputi perwujudan kepulauan
nusantara sebagai satu kesatuan sosial budaya.
- Wawasan Nusantara meliputi perwujudan kepulauan
nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan dan keamanan
Pengertian Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan politik, adalah
sebagai berikut:
- Kebulatan wilayah nasional beserta kekayaannya
merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup, dan kesatuan seluruh
bangsa, serta menjadi modal dan milik bersama bangsa Indonesia.
- Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku dan
berbicara menggunakan berbagai bahasa daerah. Meyakini berbagai agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, merupakan satu kesatuan bangsa
yang bulat dalam arti yang seluas-luasnya.
- Bangsa Indonesia harus merasa satu kesatuan,
senasib sepenanggungan, sebangsa, dan setanah air, serta mempunyai satu
tekad dalam rnencapai cita-cita bangsa.
- Pancasila sebagai satu-satunya ideologi bangsa
dan Negara yang senantiasa membimbing dan rnengarahkan bangsa Indonesia
dalam mencapai tujuannya.
- Seluruh kepulauan nusantara merupakan kesatuan
hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada
kepentingan nasional.
Pengertian Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan
ekonomi, adalah
sebagai berikut:
- Kekayaan wilayah nusantara, baik potensial maupun
efektif adalah modal dan milik bersama. Keperluan hidup sehari-hari
seharusnya sudah tersedia merata di seluruh wilayah tanah air.
- Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan
seimbang di seluruh daerah, tanpa meninggikan ciri khas yang dimiliki oleh
daerah dalam pengembangan kehidupan ekonominya.
- Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah
Nusantara merupakan satu kesatuan ekonomi yang diselenggarakan sebagai
usaha bersama atas asas kekeluargaan dan ditujukan bagi kemakmuran rakyat.
Pengertian Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan
sosial budaya, adalah
sebagai berikut:
- Masyarakat Indonesia sebagai satu peri kehidupan
bangsa merupakan kehidupan yang serasi dengan tingkat kemajuan masyarakat
yang sama, merata, dan seimbang serta adanya keselarasan yang sesuai
dengan tingkat kemajuan bangsa.
- Budaya Indonesia pada hakikamya adalah satu.
Corak ragam budaya yang ada harus menggambarkan kekayaan budaya bangsa.
Hal inilah yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa
seluruhnya dengan sikap tidak menolak nilai budaya lain yang tidak
bertentangan dengan budaya bangsa.
Pengertian Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan
pertahanan keamanan, adalah
sebagai berikut.
- Segala ancaman terhadap satu pulau atau satu
daerah pada hakikatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan
negara.
- Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban
yang sama untuk membela negara dan bangsa. Dengan konsep Wawasan Nusantara
secara geografis, kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan yang utuh
dengan melihat kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, dan Hankam.
Tujuan Wawasan Nusantara dibagi
menjadi dua bagian, yaitu tujuan ke dalam dan tujuan ke luar.
- Tujuan
ke dalam Wawasan Nusantara: untuk
mewujudkan kesatuan dalam segenap aspek kehidupan bangsa, baik aspek
alamiah maupun aspek sosial.
- Tujuan ke luar Wawasan Nusantara: untuk ikut serta rnewujudkan kebahagiaan, ketertiban, dan perdamaian seluruh umat manusia
3. KASUS HILANGNYA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN
DARI NKRI.
Sengketa
Sipadan dan Ligit adalah persengketaan antara Indonsia dengan Malaysia atas
pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di selat Makasar yaitu pulau Sipadan.
Kasus
Sipadan Ligitan merupakan kasus yang sangat terkenal bagi rakyat Indonesia.
Kasus ini merupakan kasus panjang yang akhirnya membuat Indonesia kehilangan
dua pulau yaitu Sipadan dan Ligitan. Kasus ini yang membuat kemudian muncul
kasus baru seperti kasus ambalat. Kasus ini memang sangat sensitif mengingat
kasus ini menyangkut wilayah kedaulatan yang sangat kaya akan sumber daya alam
dan memiliki daya tarik di bidang pariwisata.
Pulau
Sipadan dan Ligitan merupakan pulau kecil yang luasnya 23 hektar. Pulau ligitan
terdiri dari semak belukar dan pohon. Sementara itu Sipidan merupakan pucuk
gunung merapi dibawah permukaan laut dengan ketinggian sekitar 700meter.
Sampaai 1980-an dua pulai ini tidak
berpenghuni.
Persengketaan
antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.
Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan
status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia
membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena
Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai
persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status
ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai
persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
Sengketa kepemilikan pulau itu tak kunjung
reda,meski gejolak teredam. Sengketa Sipadan dan Lingitan kembali muncul ke
permukaan pada 1969. Sayang, tidak ada penyelesaian tuntas sehingga kasus ini
kembali mengembang.
Sikap
indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun
akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah
Internasional (MI)
Pemerintah
Indonesia-Malaysia akhirnya sepakat membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional
(MI) pada tahun 1997. Dalam putusan Mahkamah Internasional tang jatuh pada
tanggal 17 Desember 2002, Indonesia dinyatakan kalah.
3.1 ANALISI KASUS
sengketa yang akhirnya diserahakan kepada
Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi
dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan
Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti
misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang
menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru
sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara
anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial
Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu
hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan
Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai
satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan
perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan
ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah
merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan
masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan
kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota
untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya
Dewan Tinggi ini.
Akibat
jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang
tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar
Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu
dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan
Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan
peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam
menangani masalah internasional.
Namun,
bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai
satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat
kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa
tersebut. Kedua negara telah melakukan pertemuan-pertemuan baik formal maupun
informal, secara bilateral maupun melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa
Sipadan dan Ligitan sejak tahun 1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama
kuat dalam mengajukan bukti historis terhadap klaim mereka masing-masing.
Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa pemerintahan Soeharto,
Soeharto menyepakati untuk menyerahkan masalah yang tak kunjung selesai ini ke
mahkamah internasional dengan pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama
negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai. Perlu kita tahu di sini
adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak
pernah melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan
atas Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto”
pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974
Malaysia sudah mulai merancang dan membangun infra struktur Ssipadan-Ligitan
lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini
terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama. Kesalahan
kita ialah kita terlalu cukup percaya diri dengan bukti yuridis yang kita
miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah orang-orang
Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan bangsa
Malaysia berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga
Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun
bahasa yang dipergunakannya. Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah
perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang
berasal dari kedua negara.
Melihat
pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti
historis kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama
dari mahkamah internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous
presence), penguasaan efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam
(ecology preservation). Ironisnya ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi
perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga
poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta
instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga
terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar
lembaga untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi
lebih baik.
Pengaturan
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi
melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional.
Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi
perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.
Berkaitan
dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama,
Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka peluang negara
tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL
yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya,
baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya
negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum
internasional.
Pembenahan
secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga
teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali
garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut nusantara
(archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk mencegah
klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan political
will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus,
pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak
terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan
keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state
conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk
mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan
teritorial.
Isu
sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali
pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara
lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di
antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Berpengaruh
pada tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi
ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi
jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan
peralatan militer yang “tidak layak tempur” karena usia tua dengan rata-rata
pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat
utama sistem persenjataan merupakan “besi tua yang mengambang” dan tidak mampu
melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait
pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari
standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki
114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan
1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an.
Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil
dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39
kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal
berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun.
Relasi
dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap
sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur
diplomatis menjadi pilihan utama dan logis.
Pengalaman
pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh
pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, sepertinya kita lalai
dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain
akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung
reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia,
termasuk persoalan perbatasan di forum internasional.
Minimalnya
perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas
negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau “tak
bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi
alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari
perhatian Pemerintah Indonesia.
3.2 KESIMPULAN
Penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan kedaulatan
di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara
damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah
pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB.
Sengketa
Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis
perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu
dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat
Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara
di Pulau Borneo, masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim
kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan.
Berbagai
pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan
atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua
negara sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah
Internasional. Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua
pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan
merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan
Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak melaksanakan efektifitas di Pulau
Sipadan dan Ligitan.
Kasus
sengketa Sipadan dan Ligitan tersebut kini telah menjadi milik Malaysia,
menjadi bukti lemahnya bangsa Indonesia memahami konsep Wawasan Nusantara.
Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin hari semakin berat, serta lemahnya pengawasan tersebut tidak
hanya dilakukan oleh pihak TNI/Polri saja tetapi semua lapisan masyarakat
Indonesia. Bila hanya mengandalkan TNI/Polri saja yang persenjataannya kurang
lengkap mungkin bangsa Indonesia sudah habis wilayahnya di akui negara lain,
maka penerapan dan pemahaman konsep wawasan nusantara sebagai landasan mutlak
DAFTAR PUTAKA